Merokok itu Haram?

rokok11Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III akhirnya mengeluarkan sebuah fatwa penting tentang merokok. Diputuskan bahwa merokok hukumnya “DILARANG”, yaitu antara haram dan makruh. Pimpinan Itjima’ Ulama Komisi Fatwa, Prof Dr HM Amin Suma MA mengatakan bahwa merokok itu haram untuk anak-anak di bawah umur, haram untuk ibu hamil, dan haram jika dilakukan di tempat umum.

Bagi yang antirokok, fatwa ini menjadi senjata ampuh dalam perjuangan dan cita-cita luhur mereka: membasmi rokok dari bumi ini. Merokok, apa pun alasannya, memang lebih banyak ruginya daripada untungnya. Dari segi kesehatan, kita semua tahu, nikotin itu berbahaya bagi tubuh manusia. Dari segi ekonomi, merokok itu memang pemborosan. Bahwa merokok itu boros, Wong Samin percaya. Harga sebungkus rokok saat ini Rp8.000. Kalau seorang perokok menghabiskan sebungkus rokok per hari, berarti per bulan dia membuang percuma Rp240.000! Dalam satu tahun berarti Rp2.880.000!!! Itu baru sebungkus sehari, lalu berapa rupiah biaya yang dikeluarkan oleh seorang perokok berat yang biasa “mengonsumsi” 4-5 bungkus per hari? Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia, yakni 146 juta orang!

rokok2Kalau dipikir-pikir, benar juga ya fatwa MUI itu. Anak-anak di bawah umur haram merokok, karena mereka belum mandiri secara ekonomi dan rentan terhadap berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh nikotin. Wanita hamil haram merokok karena memang membahayakan sang janin yang dikandungnya. Dan, merokok di tempat umum itu haram karena sangat mengganggu orang lain.

Tapi, muncul pertanyaan menggelitik di benak Wong Samin. Pertama, bagaimana nasib mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada rokok? Tentunya fatwa ini merupakan sebuah lonceng kematian. Mereka yang termasuk kelompok ini adalah petani tembakau, buruh pabrik rokok, pedagang (asongan maupun yang punya ruko), salesman (yang bermobil maupun yang cuma jalan kaki),   dan tentu saja pabrik rokok itu sendiri.

Kedua, mengapa sebuah fatwa (yang tentunya dikeluarkan dengan itikad baik, atas desakan pihak yang tentunya juga punya itikad baik) harus menelan korban yang demikian besar? Jika fatwa ini diberlakukan, tentu akan menambah jumlah pengangguran di negeri yang kaya-raya ini. Ribuan petani tembakau di Temanggung tidak mungkin serta merta beralih ke tanaman sayuran (mereka bukan petani ophium di Thailand yang berganti menanam sayuran). Jutaan buruh di pabrik rokok tidak mungkin berganti mata pencaharian menjadi TKI. Jutaan pedagang asongan yang menyerbu sudut-sudut kota tentu akan berkurang omzetnya bila tidak memajang rokok di asongan mereka. Bila pabrik-pabrik rokok gulung tikar, berapa triliun penerimaan cukai negara yang hilang? Perlu dicatat pula bahwa tidak sedikit sumbangan dari para pengusaha rokok dalam program beasiswa pelajar dan mahasiswa, penyelamatan lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, pembinaan olahraga, dan sebagainya.

Ketiga, apakah rokok itu jahat sekali sehingga sebuah lembaga terhormat bernama MUI sampai harus turun tangan? Bahwa nikotin itu berbahaya, Wong Samin pernah mendengarnya. Tapi lebih berbahaya mana antara merokok dengan menonton sinetron cengeng yang menyebarkan  virus konsumerisme dan sadisme? Kok MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang sinetron yang haram?

Benarkah rokok itu memperpendek umur pengisapnya? Wong Samin punya kakek, Mbah Soma Lan namanya (wah, namanya kayak bintang film kungfu, Samo Hung). Almarhum kakek saya ini, menurut pengakuannya, merokok sejak usia  kurang dari 13 tahun. Dan terus-menerus merokok selama hidupnya dengan dosis 1-2 bungkus per hari.  Mau tahu umur berapa beliau tutup usia? Seratus delapan tahun! Sekali lagi, seratus delapan tahun!

Mungkin, kakek saya ini memang sebuah pengecualian. Tapi, ada lagi ini contoh lain. Tetangga saya, sebut saja Pak Karnawi. Dia ini perokok berat dengan dosis 3-4 bungkus per hari. Suatu hari dia memutuskan untuk berhenti dari kebiasaan buruknya ini. Eh, begitu berhenti merokok, tiba-tiba puluhan penyakit menyerangnya. Dari pusing-pusing, jantung berdebar-debar, kejang-kejang, sampai kesemutan. Tepat sebulan sejak berhenti merokok, Pak Karnawi dibawa ke rumah sakit. Dua minggu kemudian, nyawanya diambil Malaikatul Maut.

Wah, contoh-contoh itu mungkin memang hanya kebetulan. Tapi, sampai hari ini, belum ada ahli yang berani mengklaim bahwa perokok umurnya lebih pendek daripada bukan perokok. Banyak perokok yang umurnya lebih panjang daripada bukan perokok. Banyak juga bukan perokok yang umurnya lebih pendek daripada perokok. Ada perokok yang umurnya pendek, ada pula perokok yang umurnya panjang. Ada bukan perokok yang umurnya pendek, ada pula bukan perokok yang umurnya panjang. Yang namanya umur itu kan urusan Yang Maha Memberi Umur.

Oke, kita kembali ke fatwa MUI tadi. Menindaklanjuti fatwa ini, beberapa daerah sedang menyiapkan Perda tentang larangan merokok. Bila Perda ini dijalankan dengan murni dan konsekuen, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tentu akan menimbulkan “korban” yang lain. Masalah rokok ini memang dilematis sekali. Diperlukan pemikiran yang lebih mendalam lagi untuk menyikapi hal ini. Yang menjadi pertimbangan tentu bukan hanya masalah haram dan tidaknya, bukan masalah sehat dan tidaknya, namun perlu dasar pemikiran yang lain. Aspek lain yang tak kalah penting adalah kemanusiaan, ekonomi, dan keamanan. Keamanan? Ya.  

4 tanggapan untuk “Merokok itu Haram?”

  1. MUI… MUI. Seolah ngejar setoran dengan membuat fatwa. Seyogyanya MUI menyadari dengan membuat fatwa haram-halal kehidupan akan menjadi kacau. Mestinya serahkan saja kepada nalar masing-masing pribadi. JIka ada orang meyakini ini haram, itu halal kembalikan kepada Al Quran dan Hadits. Jika masih ada pro-kontra, serahkan kepada keyakinan masing-masing. Saya kira AlQuran dan Hadits mengajari kita untuk menghargai perbedaan pendapat. Ah, MUI.

  2. Yak saya setuju dengan komentar Mas Hejis.

    Yang saya tahu, haram dan halal adalah hal yang sangat saklek hukumnya. Barang yang haram ya haram untuk semuanya. Kalo memang sudah haram, ya berarti sejak pabrik rokok dibuka mestinya sudah ada ketentuan haram. Lah kok baru sekarang dibilang haram? Contohnya dalam Islam, haram hukumnya makan babi. Sudah sejak Islam berkembang, Allah sudah menentukan demikian, bukan?

    Dan Pak Che, saya suka kalimat ini: Tapi lebih berbahaya mana antara merokok dengan menonton sinetron cengeng yang menyebarkan virus konsumerisme dan sadisme? Kok MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang sinetron yang haram? —> mantab!

  3. @Icha. Tapi gini, Mbak Icha. Saya pernah dengar dari seorang kyai bahwa halal dan haram itu juga situasional. Contoh kasus: daging babi memang haram dalam situasi normal, tapi bisa menjadi halal dalam keadaan terpaksa. Misalnya, jika kita terdampar di sebuah pulau terpencil dan kita harus survive untuk bertahan hidup dan tidak ada hewan apa pun yang dapat dimakan kecuali babi dan kalau tidak makan babai itu kita akan mati. Gimana?

Tinggalkan komentar